Kamis, 25 Oktober 2012

Resensi Novel Eliana, Tere Liye



Judul Buku                   : Eliana
Penulis                         : Tere Liye
Penerbit                      : Republika Penerbit
Tahun Terbit               : Agustus 2011
Jumlah Halaman         : iv+ 519 Halaman
Ukuran Kertas             : 20,5 x 13,5 cm
Desain Cover               : Mano Wolfie
Layout                         : Nr Alfian
Editor                          : Andriyati
Percetakan                  : PT Gramedia, Jakarta

Novel ini berkisah seorang Eliana, anak sulung mamak. Ini merupakan bagian dari 4 rangkai novel dari “Serial Anak-anak Mamak” yang menceritakan tentang anak-anaknya yaitu Eliana, Pukat, Burlian, dan Amelia. Dalam novel settingnya digambarkan di lembah bukit Provinsi Sumatra Selatan, sebuah desa yang dikelilingi oleh hutan dan sungai.
Di novel ini menggambarkan rasa ingin tahu, proses belajar, menyatu dengan kepolosan, kenakalan, hingga isengnya dunia anak-anak, petualangan hebat, ketika persahabatan, pengorbanan, dan pemahaman tentang kehidupan tumbuh dari wajah-wajah ceria  terus melekat sehingga mereka dewasa.
Kisahnya tentang keluarga sederhana, Pak Syahdan dan Mak Nur yang membesarkan   anak-anaknya dengan disiplin yang tinggi, tegas, akhlak dan memberikan teladan dari perbuatannya.
Empat anak-anak mamak ini memiliki karakter yang berbeda-beda. Eliana yang pemberani, Pukat yang cerdas, Burlian yang cerdik tetapi temperamental, dan Amelia yang lugu dan serba ingin tahu. Empat karakter yang berbeda-beda ini membuat menarik dan terkadang mengocok perut pembaca.
Eliana yang selalu dijuluki sebagai anak pemberani sejak lahir. Eliana memang benar-benar tumbuh sebagai anak yang pemberani. Keberaniannya sudah muncul sejak awal-awal kisah, dimana dia berani membentak ‘para petinggi’ di sebuah forum resmi, “JANGAN HINA BAPAKKU!!”. Sifat inilah yang selanjutnya menggiring dia dan anggota Buntal yang lain dalam misi menghalangi para pengeruk pasir. Dengan gaya pengintai mereka menyusun rencana-rencana dari mulai mengempesi ban, hingga tindakan Marhotap melempar kantong-kantong bensin ke truk pengeruk pasir.
Di sekolah ia berani “berduel” oleh teman laki-lakinya yang bernama Anton. Berduel dalam artian Eliana berani bersaing dengan Anton secara jujur, diantaranya bermain bola Voli, gobak sodor, lomba lari 10 putaran mengelilingi lapangan, sampai ia mengumandangkan adzan di mushola yang berujung pada pertemuan seluruh warga kampung di mushola.
Selain itu, keberaniannya juga terlihat pada saat ia merasa tidak suka pada saat ada penambang pasir di desanya yang sangat mengganggu keseimbangan alam di desanya, mulai dari warga yang kesulitan mencari kucur di sungai, kesulitan mencari batu hias di dasar lubuk larangan, sampai warga yang harus kerepotan untuk mengunjungi kebun jagung miliknya. Kemudian dia bersama empat temannya mendirikan genk “Empat Buntal” untuk melakukan perlawanan terhadap penambang tersebut. Ditengah-tengah perlawanan yang mereka lakukan, ia harus kehilangan salah satu anggota genk.
Selain menceritakan tentang keberanian Eliana, kisah ini juga menceritakan tentang Eliana yang membenci statusnya menjadi anak Sulung. Ia membenci mamak yang mengharuskan Eliana menjaga dan bertanggung jawab terhadap adik-adiknya. Sampai akhirnya ia kabur dari rumah.
Membaca kondisi sekolah yang bobrok tak jarang membuat kita teringat dengan cerita Laskar Pelangi, walaupun konteks ceritanya sangat lah berbeda. Hingga kemudian, cerita pun tidak hanya mengkritisi masalah lingkungan dan sistem pemerintahan yang bejat, tapi juga bentuk pendidikan di daerah yang kerap tidak memadai dan disisihkan. Carut-marut kehidupan kampungnya inilah yang kemudian menghantarkan Eliana pada sebuah cita-cita sebagai pembela kebenaran.
Dengan segala masalah pendidikan, lingkungan, dan pemerintahan yang dihaturkan dalam buku Eliana ini, tidak lantas membuat plot cerita menjadi berat. Penulis berhasil menyampaikan kritikannya tanpa melupakan fokus dan tokoh utama dari cerita yaitu tentang anak-anak bernama Eliana. Konflik keluarga pun menjadi salah satu dilema dalam diri Eliana, ketika dia mulai mempertanyakan kasih sayang Mamak dan statusnya sebagai anak sulung. Ramuan cerita pun tidak hanya berkesan seru, menegangkan, dan sinis, tetapi juga ceria, lucu, sekaligus mengharukan.
Sayangnya Editor Novel ini kurang jeli karena terdapat penulisan kata yang salah dan pada bagian pertemuan bapak dan emak versi muda, terasa banget 'copy- paste'nya, bahkan ada satu paragraf yang kelupaan belum diedit subyeknya, Wak Yati menggunakan istilah 'copy paste' pada percakapannya, seharusnya di era itu istilah ini belum populer, semodern apapun Wak Yati dan Hima si gadis dusun yang belum lulus SD sudah mengenal kosakata 'konkrit'. Terlepas dari semua itu Novel ini memberika semangat yang tinggi untuk generasi muda.
Kisah ini diceritakan dengan bahasa yang sangat mudah dipahami dan penuh dengan pesan moral. Sekali membaca rasanya takkan mau untuk berhenti membaca. Dengan membaca kisah ini, kita akan belajar bagaimana untuk bersikap bijaksana dalam menghadapi suatu masalah, selain itu kita juga akan mengerti bagaimana besarnya kasih sayang seorang ibu kepada kita. Bagi yang mau belajar tentang kebijaksanaan buku ini sangat direkomendasikan baik untuk remaja maupun orang dewasa.

1 komentar: